Penayangan bulan lalu

Minggu, 20 Oktober 2013

"Istikhoroh Part 1"

"Doa Istikhoroh" 
Ya Allah, aku memohon petunjuk memilih yang baik dalam pengetahuanMu, aku mohon ditakdirkan yang baik dengan kudratMu, aku mengharapkan kurniaMu yang besar. Engkau Maha Kuasa dan aku adalah hambaMu yang dhaif. Engkau Maha Tahu dan aku adalah hambaMu yang jahil. Engkau Maha Mengetahui semua yang ghaib dan yang tersembunyi. 
Ya Allah, jika hal ini (***) dalam pengetahuanMu adalah baik bagiku, baik pada agamaku, baik pada kehidupanku sekarang dan masa datang, takdirkanlah dan mudahkanlah bagiku kemudian berilah aku berkah daripadanya. 
Tetapi jika dalam ilmuMu hal ini (***) akan membawa bencana bagiku dan bagi agamaku, membawa akibat dalam kehidupanku baik yang sekarang ataupun pada masa akan datang, jauhkanlah ia daripadaku dan jauhkanlah aku daripadanya. Semoga Engkau takdirkan aku pada yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas setiap sesuatu.” 

 

Membaca doa istikhoroh ini tampak tak menyentuh hati sebelumnya, kesannya biasa saja. Tapi kali ini berbeda, seakan menjawab kegelisahan dan kegundahan yang kurasakan. Ada getaran di hati, kelenjer lakrimalku pun hampir menumpahkan genangan air didalamnya. Sungguh indah sekali doa ini. Tercermin sebuah kepasrahan dan keikhlasan seorang hamba pada Tuhannya, Allah swt. 

Ternyata menuju Sebuah "Mitsaqon Gholidza" tak melulu diwarnai dengan senyuman dan kisah romantis. Saat Allah menjawab salah satu doa yang kupanjatkan setiap selepas sholat, hati yang selalu berharap menemukan soulmatenya dengan segera ini, tak menyambutnya dengan penuh sukacita. Tawaran taaruf itu datang saat kondisi hati sedang tak bersahabat, jatuh dan remuk dipermainkan oleh perasaannya sendiri. Lelaki itu,, Ah sudahlah tak perlu mengorek luka yang sudah mulai mengering. Selepas peristiwa yang membuat hatiku porak-poranda itu, saya memutuskan untuk melupakan urusan hati dan fokus membangun kembali rancangan masa depan, menghidupkan kembali impian-impian saya yang telah lama terlupakan oleh rutinitas pekerjaan. 

 

Mungkin inilah cara Allah menyembuhkan luka yang saya rasakan, tawaran taaruf datang. Awalnya saya ragu untuk menerima tawaran itu karena ingin “cleansing” terlebih dahulu. Tapi saya ingat pesan seseorang, yang kurang lebih saya terjemahkan seperti ini “lakukanlah apa yang kamu bisa lakukan saat ini, dan coba semua kesempatan yang Allah tawarkan padamu”. Mengingat pesan ini, saya pun mencoba menerima tawaran taaruf. 

 

Saya tidak pernah tahu jodoh saya datang melalui perantara apa dan siapa, saya hanya mencoba untuk pasrah, berkhusnuzon dan mengambil kesempatan yang Allah berikan. Toh kalau jodoh pasti sampai ke pelaminan, kalaupun tidak jodoh ya tidak apa-apa , saya masih punya rancangan impian yang siap dijalani. Semua tinggal dikembalikan pada Allah, kita hanya perlu melakukan bagian yang bisa kita lakukan. Sesederhana itu. Saat pertama kali membaca cv ikhwan itu, rasanya,,, benar kata teh Fu pernah menjadi seorang secret admirer sangat perlu melakukan cleansing terlebih dahulu, saat berniat untuk menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki. Karena bayangan lelaki yang kita kagumi akan selalu muncul, dan kita akan terus membandingkan pria yang datang dengan pria yang dulu pernah kita kagumi . 

 

Beruntung, saat Bookfair di Braga tempo lalu, Allah menggerakan tanganku untuk membeli Buku “Menikah Untuk Bahagia” karya pak Noveldy dan Bunda Noveldy. Banyak pelajaran yang kudapat, salah satunya “Soulmate itu bukan ditemukan, tapi diciptakan” kehidupan di pernikahan itu layaknya proses pembelajaran yang tak pernah berhenti. Dan tentu atas ijin Allah pula saya bersyukur pernah mengikuti seminar “Menikah itu Mudah”nya Canun dan Teh Fu. Banyak ilmu baru yang saya dapat salah satunya, “Bahwa Jodoh itu Cerminan diri kita” . Lalu Sudahkah saya bercermin? Sehingga pantaskah saya mendapat jodoh dengan Kriteria selangit jika kondisi saya masih seperti “ini”. Wallohualam. 

 


Hamba dhoif yang berusaha melibatkan Allah disetiap urusannya..

Kamis, 17 Oktober 2013

Kontemplasi

Mungkin hati ini begitu hitam pekat, sehingga setiap masalah yang datang begitu sulit dipecahkan, solusi yang ada didepan mata, seakan sulit terjamah. Allah ya robbi, tumpukan dosa ini menyisakan karat2 di hati. Sehingga silau cahayaMu tak bisa kulihat.

Hati ini bagaikan lautan sampah, sehingga busuknya dapat tercermin dalam tingkah laku.
Sikap yang jauh dari kemuliaan menjadi penghias diri yang memuakan.
Gelisah, gundah, galau menjadi sahabat hati yang tak terpisahkan.

Allah, Allah, Allah, mohon ampuni hamba. Ampuni hamba. Maafkan hamba, si Manusia dengan lautan dosa.

Jumat, 27 September 2013

Sudah!

Sejuta kalipun kau memupukku, ku coba tak peduli.

Pernah kucoba, tapi apa jadinya?

Hatiku porak poranda saat tau kenyataan.

Menerjemah yg dirasa di hati. Begitu rumit
Menahan pilu, tapi tak kuasa menahan air mata.

Sejenak ku terdiam,
Lalu tanyaku padamu
Kenapa kau tumpahkan racun pada hati yg mulai kugembok?

Kamis, 26 September 2013

Menulislah karena Allah

Menulislah karena Allah

Sudah setahun lamanya jemari ini tidak aktif bermain mengolah kata menjadi sebuah tulisan yang dapat menginspirasi dan bermanfaat. Sungguh bukan karena tidak adanya keinginan melainkan adanya pertentangan dalam hati yang bergejolak. Inspirasi sangat sulit rasanya dituangkan dalam sebuah kalimat, bahkan inspirasi pun tak kunjung datang mengalir didalam pikiran. Jemari ini rasanya kaku untuk menulis, pikiran ini rasanya kelu tuk berpikir, hati ini bahkan sulit ikut terlibat ketika menulis. Hal ini yang membuat saya ‘vacum’ dalam menulis. Ketika menulis hati tak ikut terlibat yang ada hanyalah tulisan yang tak bernyawa, tak memberi energi pada yang membacanya.

Hingga akhirnya saya berusaha move un dan move up, saya terinspirasi dari beberapa penulis yang menebarkan manfaat. Ayoo menulis

Hingga akhirnya saya diamanahi untuk menjadi salah satu admin twitter marketing yang mengharuskan saya untuk menulis. Kebiasaan menulis ini pun akhirnya bisa tersalurkan, tapi tak bertahan lama rasanya. Hal serupa kembali terjadi keinginan dan kemampuan menulis berhenti dengan sendirinya. Saya pun tersadar niat saya menulis ketika itu hanyalah untuk kepopuleran semata, ingin mendapat pujian, rasanya jika tidak ada pujian, akan kecewa rasanya tidak dihargai. Ternyat niat hal seperti ini merasuk dalam hati dan merusak niat tulus saya menulis

Menulis adalah hobi saya tapi kenapa tak ada satu pun karya yang bisa saya telurkan dalam sebuah tulisan?. Lalu saya pun bermuhasabah dan mencoba menemukan titik problem yang ada, mungkin saat ini saya jauh dengan Allah, Sang Penganugrah Inspirasi. Ini yang harus saya lakukan , mendekati Sang pemberi inspirasi. Kepopuleran dan materi duniawi sungguh sangat tidak bisa dibandingakan dengan kenikmatan Surga yang telah Allah janjikan.

Jadi mulai saat ini Insya Allah saya akan menulis hanya karena Allah,

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus..

Merindu Jannah Mu ya Rabb

Peluk hamba yang mudah rapuh ini… :'(